Tabanan,NUSANTARAMURNI.com-(15 Juli 2025) – Sebuah pertemuan eskalatif yang dilabeli “coffee morning” oleh Ikatan Developer Real Estate Indonesia (IKADERI) Bali telah menguak ambisi dan friksi di sektor properti Bali, khususnya di Kabupaten Tabanan. Acara yang dihelat Selasa pagi ini, bukan sekadar ajang silaturahmi semata, melainkan sebuah forum strategis yang mempertemukan para pengembang dengan representatif dinas terkait, membedah program ambisius “Asta Cita” Presiden Prabowo-Gibran dalam penyediaan tiga juta rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Sambutan pembuka dari Bapak Bagio Utomo Ketua Panitia mengemuka dengan narasi kohesif, menyerukan persatuan dan kekompakan di antara para pengembang. Retorika ini, meskipun mulia, patut dianalisis dalam konteks persaingan bisnis yang inheren dalam industri properti. Pertanyaan fundamentalnya adalah: seberapa kokohkah persatuan ini ketika dihadapkan pada kepentingan individu dan entitas korporasi yang beragam? Apresiasi kepada panitia dan pengembang Tabanan atas terselenggaranya acara ini disuarakan dengan lantang, menegaskan upaya kolektif di balik inisiatif ini.
Puncak diskursus mencapai klimaks ketika Ketua DPD IKADERI Provinsi Bali, Bapak I Ketut Sudianta, mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai pelantikannya di Istana Presiden. Pernyataan ini, meskipun sepintas lalu terkesan personal, memiliki implikasi politis yang signifikan, menegaskan konektivitas IKADERI dengan lingkaran kekuasaan tertinggi.
Namun, yang lebih substansial adalah tuntutan eksplisit Bapak Sudianta agar Pemerintah Kabupaten Tabanan mengadopsi kebijakan subsidi biaya Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPHTB) seperti yang telah diterapkan di Kabupaten Buleleng (Singaraja). Tuntutan ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah strategi makroekonomi untuk mereduksi beban finansial pengembang, yang pada gilirannya diharapkan dapat memangkas harga jual unit rumah dan membuatnya lebih terjangkau bagi MBR. Pertanyaan krusialnya: Apakah Pemkab Tabanan akan responsif terhadap desakan ini, ataukah akan terperangkap dalam dilema fiskal dan prioritas pembangunan lokal lainnya?
Sesi diskusi mengundang perhatian serius ketika Bapak Komang, seorang peserta, mengemukakan pertanyaan kritis mengenai Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Isu LSD telah lama menjadi momok bagi pengembang, membatasi ekspansi pembangunan di wilayah agraris. Perwakilan ATR/BPN, Bapak Krisna, memberikan respons yang terkesan diplomatis, menyarankan pengecekan informasi melalui “loker informasi atau permohonan per tag.” Jawaban ini, meskipun secara teknis akurat, mungkin kurang memuaskan bagi pengembang yang membutuhkan kejelasan regulasi yang lebih transparan dan efisien.
Lebih lanjut, Bapak Krisna juga mengklarifikasi mengenai status tanah yang “tidak ditinggali.” Beliau menegaskan bahwa yang akan diambil alih oleh negara bukanlah tanah yang sekadar tidak dihuni, melainkan Hak Guna Bangunan (HGB) yang “tidak jelas peruntukannya.” Penegasan ini penting untuk meredakan kekhawatiran spekulasi tanah dan memastikan pemanfaatan lahan sesuai peruntukan yang ditetapkan. Namun, definisi “tidak jelas peruntukannya” masih menyisakan ruang interpretasi yang dapat menjadi celah atau hambatan di kemudian hari.
Membangun Kepercayaan dengan Bank BTN: Sebuah Keharusan atau Ketergantungan?
Ketua Umum DPP IKADERI, Bapak Yoyo Sugeng Triyogo, menyoroti pentingnya membangun kepercayaan dengan Bank BTN, menyebutnya sebagai “saudara” para pengembang. Himbauan untuk tidak ragu berkonsultasi dengan BTN mengindikasikan peran vital bank ini dalam skema pembiayaan perumahan, khususnya KPR subsidi. Relasi simbiotik antara pengembang dan BTN adalah pilar utama dalam keberlanjutan program perumahan MBR. Namun, ketergantungan ini juga bisa menjadi pedang bermata dua, di mana dinamika kebijakan internal BTN dapat secara signifikan memengaruhi laju pembangunan perumahan.
Asta Cita: Harapan di Tengah Tantangan Implementasi
Latar belakang diselenggarakannya acara ini adalah untuk mendukung program “Asta Cita” Presiden Prabowo-Gibran yang bertujuan menyediakan rumah layak huni bagi MBR. Program ini, yang diusung dengan subtema “Sukses Program Asta Cita Presiden Prabowo-Gibran Penyediaan 3 Juta Rumah MBR,” mencakup berbagai fasilitas subsidi dan bantuan perumahan.
Topik bahasan meliputi:
Subsidi Pembiayaan Perumahan: Meliputi KPR, FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).
Bantuan Penyediaan Perumahan: Berupa Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa), Rusus (Rumah Khusus), Bantuan Stimulan Pembangunan Rumah Swadaya (BSPS), dan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU).
Kemudahan Regulasi Perizinan: Termasuk pembinaan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, merujuk pada PP Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR.
Meskipun cetak biru program ini terlihat komprehensif, tantangan implementasi akan terletak pada harmonisasi kebijakan di tingkat pusat dan daerah, sinkronisasi antarlembaga, serta kesiapan infrastruktur dan kapasitas pengembang. Akankah “Asta Cita” benar-benar menjadi mercusuar harapan bagi MBR, ataukah hanya akan menjadi utopia di tengah riuhnya kepentingan bisnis dan birokrasi? Pertemuan di Tabanan ini hanyalah episode awal dalam saga kompleks penyediaan hunian layak di Indonesia.