SURABAYA,NUSANTARAMURNI.com-(11/10/2025)– Eksistensi kebudayaan sebagai entitas fundamental dalam peradaban manusia menjadi diskursus utama yang diurai secara mendalam oleh Drs. Agus Wijaya, S.Pd., S.Ag., M.M., M.Si., seorang intelektual yang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perkumpulan Dosen Hindu Indonesia (DHI) dan Anggota Sabha Walaka PHDI (Majelis Agama Hindu) Pusat. Beliau menegaskan bahwa kebudayaan merupakan warisan ideologis yang lahir dari kecerdasan kolektif (ideal selection) para pendahulu.
Definisi Filosofis dan Imperatif Pemertahanan Budaya
Menurut Agus Wijaya, budaya adalah kristalisasi ide atau hasil pemikiran ideal dari kaum smart pada zamannya, terentang hingga ribuan tahun silam. Manifestasi dari ideologi ini menjelma dalam karya nyata yang berfungsi sebagai pedoman hidup generasi penerus. Wujudnya multidimensional, mencakup regulasi komunal (awig-awig), etos hidup, busana, ragam seni, literatur, artefak, arsitektur, hingga kerangka pemikiran.
Ia secara tegas menyatakan bahwa budaya adalah suatu imperatif untuk dirawat, dipertahankan, dieksekusi, dan dikembangkan secara berkelanjutan. Budaya yang lestari dan berkembang adalah budaya yang terinternalisasi nilai-nilai kebaikannya. Sebaliknya, entitas budaya yang tidak selaras dengan nilai-nilai luhur cenderung hanya bertahan sebentar, mengalami penolakan, substitusi, dan akhirnya punah.
Strategi Perawatan Budaya: Dinamisme Melalui Trias Pelestarian
Lestari atau tidaknya suatu kebudayaan bergantung pada metode perawatannya. Agus Wijaya menawarkan trias pelestarian yang meliputi: mempelajari secara mendalam, menginternalisasi dalam rutinitas harian sehingga menjadi kebiasaan, dan mengembangkannya secara kontinu. Ia menekankan bahwa budaya bersifat dinamis, bukan statis.
Sebagai ilustrasi, Tari Bali merupakan budaya yang senantiasa dipelajari, dipertunjukkan dalam aktivitas sosial, dan mengalami inovasi artistik secara berkelanjutan. Eksistensi Tari Bali baru menjadi bukti nyata dari prinsip dinamika ini.
Spektrum Aktor dalam Konservasi Budaya
Konservasi budaya merupakan tugas kolektif yang melibatkan berbagai stakeholder. Mengambil contoh Budaya Bali, aktor-aktor kunci meliputi:
Aparatur Pemerintahan: Dari tingkat Gubernur, Bupati/Walikota, hingga Kepala Desa Dinas dan Klian Desa Adat.
Tokoh-tokoh Masyarakat: Sebagai teladan dan penggerak di komunitas.
Institusi Pendidikan: Dosen, Guru, Mahasiswa, dan Siswa yang berperan sebagai agen transmisi pengetahuan.
Sektor Pariwisata: Hotel, restoran, pemandu wisata, dan wisatawan yang berinteraksi langsung dengan produk budaya.
Masyarakat Lokal: Sebagai pelaku dan pewaris budaya sehari-hari.
Budaya Sebagai Perekat Integrasi Nasional
Mengenai potensi budaya sebagai instrumen pemersatu bangsa, Agus Wijaya meyakini bahwa hal itu sangat dimungkinkan. Budaya lahir dari proses pergumulan ide tokoh-tokoh visioner dan secara teleologis memang didesain untuk persatuan masyarakat.
Ia mencontohkan dalam seremoni adat Bali, masyarakat—khususnya penganut Hindu—bersatu dalam keseragaman atribut. Pria mengenakan udeng khas Bali, sementara wanita mengenakan kebaya dan kain adat, menciptakan harmoni visual dan ideologis yang merefleksikan kohesi sosial.
Peran Sentral Desa dalam Inkubasi Budaya Bali
Agus Wijaya menggarisbawahi peran vital Desa Dinas dan Desa Adat di Bali sebagai stakeholder fundamental dalam pemeliharaan, pengembangan, dan promosi Budaya Bali. Ritme kehidupan di pedesaan Bali merupakan arena tempat budaya secara berkesinambungan dirawat dan dipromosikan.
Di Bali, budaya telah menyatu dengan rutinitas harian serta keyakinan agama (Hindu) yang dianut masyarakat. Oleh karenanya, pelaksanaan upacara keagamaan seringkali disebut sebagai Acara Adat atau Budaya, mengindikasikan bahwa praktik tersebut telah membudaya atau terinstitusionalisasi sebagai kebiasaan hidup sehari-hari.
Daya Tahan dan Pesan Kultural untuk Indonesia
Secara spesifik, Agus Wijaya memandang Budaya Bali sebagai representasi budaya di Indonesia yang paling kuat bertahan, dirawat, dan dikembangkan. Budaya Bali terejawantahkan dalam praktik komunal yang dilakukan setiap hari, setiap saat, dan telah menjadi etos hidup; seperti dalam hal berpakaian adat atau rutinitas belajar tari Bali di desa-desa.

Menutup pandangannya, ia menyampaikan pesan krusial kepada masyarakat dan pemerintah: budaya harus dipertahankan, dirawat, digunakan, dipelajari, dan dikembangkan secara terus-menerus. Perkembangan budaya membutuhkan ruang, tempat, dan situasi yang kondusif. Lebih lanjut, perawatan dan pengembangan budaya yang paling efektif berasal dari contoh, teladan, dan perilaku nyata para tokoh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar retorika seremonial atau perlombaan periodik yang bersifat artifisial.
AR81