BADUNG,NusantaraMurni.com- Kawasan Samigita, khususnya Kuta, mengalami krisis pengelolaan sampah sejak ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung secara bertahap per 1 Agustus 2025. Penutupan ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang penghentian pembuangan sampah organik ke TPA Suwung.
Akibat kebijakan tersebut, sampah di sejumlah titik strategis, termasuk sepanjang jalan protokol pariwisata Kuta, tampak menumpuk dan berserakan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Badung tidak dapat mengangkut sampah seperti biasanya. Kondisi ini menimbulkan keluhan dari warga, pelaku usaha, hingga wisatawan yang merasa terganggu oleh pemandangan yang tidak elok di destinasi wisata internasional itu.
“Ada banyak warga dan pelaku usaha yang komplain, karena mereka membayar retribusi sampah setiap bulan. Wisatawan pun bergumam memberi kesan tak elok, karena tumpukan sampah di mana-mana,” ujar Ketua Fraksi Gerindra DPRD Badung, Wayan Puspa Negara, saat dikonfirmasi media,Jumat (6/7/2025).
Sebagai solusi jangka pendek, Puspa Negara meminta Gubernur Bali memberikan diskresi untuk toleransi “Open Dumping” di kawasan Samigita, sembari menunggu percepatan kesadaran masyarakat dan maksimalisasi fungsi Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di setiap desa dan kelurahan.
“Hal ini tidak sepatutnya terjadi di destinasi pariwisata. Saya mendorong percepatan pembangunan TPA Mandiri Badung, pengelolaan sampah berbasis sumber, dan penguatan SDM agar bijaksana terhadap sampah secara berkelanjutan,” tegasnya.
Ia juga menilai Badung harus memiliki TPA Mandiri sebagai tampungan residu TPS3R dan sampah organik. Bahkan, Puspa Negara mengusulkan kerja sama dengan daerah lain, seperti NTB, untuk memanfaatkan sebuah pulau yang diisolasi secara khusus sebagai lokasi pembuangan residu, mencontoh Pulau Semakau di Singapura.
“Pulau Semakau sangat indah dengan rain forest-nya, meskipun pulau tersebut adalah tumpukan residu sampah,” tutupnya.